Wednesday, November 5, 2014

Cerpen - Buku Sesat Pencuci Otak

Karya: Muhammad Rijal Senjaya
Dentingan jam membangunkanku, memecah kesunyian di pagi buta itu. Ku buka mata perlahan-lahan, kemudian ku ucapkan syukur kepada Allah swt. yang telah membangunkanku dari tidur nyenyak malam ini. Aku bergegas keluar kamar dan membukakan pintu sambil berhati-hati supaya tidak terdengar suara mengingi karena engselnya yang telah kering. Ku melihat sesosok wanita dan pria yang tengah berdiri menunaikan solat tahajud dengan penuh kehusyuan, mereka adalah Ibu dan Kakakku. Betapa sumringahnya hatiku melihat pemandangan seperti ini. Kemudian aku mengambil air wudhu dan ikut melaksanakan solat tahajud bersama mereka. Ku rasakan betapa nikmat dan khusyunya solat tahajud di pagi buta ini.
Di rumah, aku tinggal bersama Ibu, Ayah dan Kakakku. Keadaan sekarang ini, merupakan keadaan yang ku dambakan sejak beberapa tahun yang lalu. Saat inilah aku merasakan arti kehidupan yang sesungguhnya. Yaitu kehidupan yang penuh dengan keberkahan.
Dahulu memang berbeda dengan saat ini. Beberapa tahun yang lalu, terjadi suatu peristiwa yang menggemparkan keadaan keluargaku. Kakakku mendadak untuk meninggalkan solat serta ibadah-ibadah lainnya. Entah apa yang membuat semua itu terjadi. Padahal sebelumnya, kakakku adalah anak yang paling soleh diantara saudara-saudaranya. Kakakku tidak pernah meninggalkan solat tahajud, solat duha apalagi solat wajib lima waktu. Setiap ada kajian Islami, selalu saja ia menyempatkan diri untuk menghadirinya. Di kampusnya pun begitu, ia terpilih sebagai ketua rohani islam dan sangat pandai dalam urusan berorganisasi. Di mata teman-temannya, Kakakku adalah seorang siswa teladan, rajin, pandai dan taat terhadap perintah agama.
Selain sebagai ketua rohis di kampusnya, Kakakku juga bergerak sebagai aktivis kemanusiaan dan solidaritas untuk Gaza. Oleh karena itulah, setiap hari kakakku sangat sibuk sekali mencari bantuan berupa donasi ke berbagai tempat, termasuk ke sekolahku. 
“Dan, tuh liat, saudara-saudara muslim kita yang berada di Palestina sekarang sedang berjihad fisabilillah. Mereka berani melawan pasukan Israel laknatullah tanpa senjata sama sekali, paling hanya sebongkah batu yang tiada artinya dibandingkan senjata-senjata canggih milik Israel laknatullah”. Ujar Kak Hafizh sambil menonton televisi sehabis pulang sekolah.
“Ya Allah, kasihan sekali mereka ya Kak! Ujarku menanggapi siaran televisi
“Ya. Makanya kita disini tidak boleh tinggal diam. Banyak cara yang sebenarnya dapat kita lakukan untuk menolong saudara-saudara kita di Palestina. Misalnya, menyedekahkan sebagian harta kita untuk membantu kebutuhan pokok mereka, seperti, infaq, sedekah, donasi, obat-obatan, makanan, minuman dsb. Dan jangan lupa untuk selalu berdoa untuk mendoakan mereka setiap sehabis solat”.
“Siap Kak! Akan kulakukan demi kejayaan umat ini! Allahu akbar!”          
*******
Namun akhir-akhir ini, kulihat Kakakku menjadi seorang yang pemurung, lebih mudah emosian dan kadang-kadang ia juga suka melupakan aktifitas ibadah yang biasa ia lakukan sebelumnya. Entah kenapa hal ini bisa terjadi. Apa yang menyebabkan Kakakku menjadi seperti ini? Aku akan mencoba untuk menyelidiki masalah ini dengan perlahan tapi pasti.
Hari ini Kakakku berangkat pagi-pagi sekali, karena menurutnya ada suatu kegiatan yang sangat penting, sehingga dia takut jikalau datang terlambat ke acara tersebut. Menurutnya, acara tersebut akan berlangsung selama tiga hari. Ku lihat kamarnya masih berantakan dan tak sempat ia merapikan tempat tidurnya. Saat ku coba merapikan tempat tidurnya, aku menemukan sebuah buku diantara bantal-bantalnya. Kulihat sampul bukunya yang penuh dengan gambar-gambar abstrak, tak tahu apa maknanya. Buku tersebut berjudul “Jalan Menuju Kemenangan”.
Tiba-tiba ibu memanggilku, “Dan, tolong belikan gula seperempat, terigu sekilo dan telur setengah kilo, oh iya belikan juga obat untuk ayahmu di apotik depan! Uang kembaliannya pakai saja olehmu untuk membeli sesuatu.” Kemudian aku pun menuruti perintah Ibu dan menyimpan buku tersebut di rak buku.
Bulan pun mulai menyingsing seiring terbenamnya matahari. Kakakku belum juga pulang ke rumah, biarlah, mungkin ia sedang mementor adik-adiknya di kampus. Setelah solat maghrib, aku sedikit merenung tentang keadaan Kakakku saat ini yang mulai kacau. Tiba-tiba muncul dalam pikiranku tentang buku yang tadi pagi ku temukan di kamar Kakakku. Rasa penasaran pun mulai timbul di benak hatiku untuk segera membaca buku tersebut. Memang, buku itu terlihat berbeda dari buku-buku yang lain, entah mengapa aku merasakan hal seperti itu. Lalu aku memasuki kamar Kakakku dan segera membaca buku tersebut.
Pada awal-awal bacaan buku tersebut, dibahas tentang nilai-nilai ketuhanan yang bisa dikatakan menyimpang dari ajaran Islam. Awalnya saja sudah begitu, apalagi kelanjutannnya.  Kemudian aku memutuskan untuk tidak melanjutkan membaca. Karena aku takut jikalau imanku tidak kuat ditambah dengan pengetahuan agamaku yang masih rendah, diriku bisa teromabang-ambing dalam kebingungan dan kegalauan dan yang lebih parah, mungkin aku bisa murtad dari agama yang penuh dengan rahmat ini, yaitu agama Islam.
Sambil membawa buku tersebut, aku pun keluar dari kamar Kakakku dengan penuh keringat dingin dan ingin segera memberitahukan berita tentang isi buku tersebut kepada Ayah dan Ibuku. Mereka berdua ternyata sedang membicarakan tentang keadaan Kakakku saat ini di ruang keluarga. Ku lihat Ibuku tak henti-hentinya meneteskan air mata, sedangkan Ayahku berusaha untuk menyabarkannya.
 Kemudian akupun datang kepada mereka dengan mengatakan “Ayah, Ibu, sabar yah! Aku juga sedang berusaha untuk sabar. Ini merupakan ujian dari Allah. Seseorang tidak akan diuji melebihi batas kemampuannya. Kita pasti bisa melewati ujian ini dengan kekuatan dan pertolongan dari Allah Azza wa Jalla tentunya”.
 Ayahku menjawab “Iya Nak, Kak Hafizh pasti bisa kembali kepada keadaan semula seperti  yang dulu lagi. Oh iya, ngomong-ngomong dari mana saja kamu? Kok suaranya nggak kedengeran? Terus kenapa kamu sampai keringatan gitu?”
Sambil menunjukkan buku yang baru saja aku baca “Aku baru saja membaca buku ini di kamar Kakak, Yah!”
 Wajah Ayahku penasaran dengan bukunya “Buku apa itu, Nak?”
Aku menjawab “Yah, buku ini sangat berbahaya sekali, mungkin bisa mencuci otak para pembacanya, kalau iman dan pengetahuan tauhidnya kurang.”
 Ayahku masih penasaran “Memangnya kenapa, Nak?”
 Lalu ku beritahukan “Pada awal-awal bacaan buku tersebut, dibahas tentang nilai-nilai ketuhanan yang bisa dikatakan menyimpang dari ajaran Islam. Awalnya saja sudah begitu, apalagi kelanjutannnya!”
 Ayahku masih tetap saja penasaran “Coba Ayah lihat, Nak!” Kemudian aku memberikan buku tersebut kepada Ayah.
Setelah Ayahku membaca sekilas, ia berkata “Innalillah, benar apa yang dikatakan olehmu, Ziddan. Buku ini pernah Ayah lihat di kantor Kementerian Agama tiga tahun yang lalu, saat Ayah masih bekerja. Bahkan, di media-media massa juga, diberitakan bahwa buku ini sesat. Buku ini tidak diberikan izin untuk diperjual belikan, karena membahayakan kualitas keimanan para pembacanya. Dari mana kau dapatkan buku ini, Nak?”
Dengan wajah kaget “Buku ini kan punya Kak Hafizh, Yah! Aku menemukannya di atas kasurnya.”
“Iya, buku itu punya Kak Hafizh. Buku itu dikirim ke rumah kita lima hari yang lalu, entah siapa yang mengirimnya, Ibu juga tidak tahu.” Ujar Ibuku
“Pantas saja, akhir-akhir ini Kak Hafizh jauh sekali kelakuannya seperti yang dulu.” Ujar Ayahku
“Ya! Bisa jadi Yah. Karena buku ini, kelakuan Kak hafizh jadi kacau dan Kak Hafizh juga pernah bilang bahwa ia telah menamatkan buku ini. Aku saja yang baru baca awalannya merasa tidak enak, apalagi kalau ditamatkan!” Ujarku
“Innalillah. Yasudah sekarang sudah larut malam, besok juga kamu sekolah, jangan sampai bangun terlambat, nanti telat lagi hayoh!” Ayahku menasihati.
“Iya Yah! Ayah dan Ibu juga harus jaga kondisi ya!” Ujarku
 Ayah berkata “Iya Nak! Kita serahkan masalah ini kepada Allah saja yang Maha Memiliki segalanya disertai dengan usaha kita yang sungguh-sungguh”. Lalu aku pun berwudhu dan pergi ke kamar untuk beristirahat.
Adzan berkumandang, ayam pun saling bersahutan membangunkan orang-orang dari tidurnya yang lelap. Kemudian ku segerakan untuk pergi solat subuh berjamaah ke masjid dekat rumah. Setelah selesai, aku pun langsung mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Biasanya aku berangkat ke sekolah diantarkan oleh Kak Hafizh menggunakan motor, tapi kali ini aku berangkat ke sekolah menggunakan angkutan umum. Sebenarnya aku sangat tidak suka bepergian menggunakan angkot. Sekali saja aku bepergian menggunakan angkot, pasti saja aku terlambat datang ke sekolah. Ya, angkot selalu mengetem untuk menunggu penumpang-penumpang yang lain. Selain terlambat, di dalam angkot pun sangat panas dan saling berdesakan. Dan hal yang paling aku tidak sukai dari angkot ini adalah bercampurnya penumpang lelaki dan penumpang wanita. Bahkan, aku pernah dikerumuni oleh para wanita di dalam angkot, sedangkan lelakinya hanya aku. Bukannya aku tidak menyukai wanita, tapi aku takut kalau saja kulitku bersentuhan dengan wanita yang bukan muhrim.
Namun kali ini dugaanku salah, saat aku memasuki angkutan umum, keadaannya sangat sepi, hanya ada aku dan seorang ibu-ibu yang akan pergi ke pasar. Aku merasa nyaman dengan keadaan angkutan umum yang seperti ini. Ku pandangi keadaan jalan ke kanan dan ke kiri. Saat melewati pasar, tiba-tiba aku melihat sesosok pemuda yang sedang meminta-minta secara paksa kepada seorang penjual tua di pasar tersebut. Karena penjual tua tersebut tidak mau memberikan uang kepada sang pemuda, pemuda itu bertengkar dengan si penjual tua. Kemudian sang pemuda mendorongnya sampai penjual tua itu jatuh tersungkur ke tanah.
“Apakah itu Kakakku? Kok mirip yah? Ah mungkin itu hanya imajinasiku saja!” Kemudian aku pun melupakan kejadian tersebut dan melanjutkan perjalananku ke sekolah. 
*******
Hari ini adalah hari ketiga Kakakku mengikuti kegiatannya. Aku sangat merindukan sekali Kakakku dan sudah tak sabar ingin memeluk erat tubuhnya.
Setelah pulang sekolah, biasanya aku selalu mengikuti kegiatan mentoring atau bisa disebut juga sebagai liqo/halaqah. Kegiatan tersebut merupakan suatu perkumpulan antara seorang pementor dengan para siswa atau siswinya untuk menyiarkan ajaran Islam. Saat mentoring berlangsung, aku menyempatkan diri untuk mencurhatkan isi hati tentang keadaan Kakakku saat ini.
Mendengar kabar tersebut, pementorku merasa tidak percaya, "Masya Allah, Kakakmu sekarang seperti itu Dan?"
Kemudian ku jelaskan dugaan penyebab hal itu terjadi, "Kang, apakah benar ada buku yang bisa mencuci otak seseorang?"
Pementorku menjawab "Iya, akang pernah dengar dari teman akang. Memangnya ada apa dengan masalah tersebut Dan?”
“Begini Kang, saat aku merapikan tempat tidur Kakakku, aku menemukan sebuah buku yang aku curigai telah mencuci otak Kakakku. Baru saja aku membaca sedikit, buku tersebut sudah membicarakan tentang eksistensi ketuhanan.”
Lalu pementorku memberi nasihat "Semua yang terjadi saat ini adalah takdir yang telah Allah tetapkan dan pasti itu yang terbaik, termasuk yang terjadi pada Kakakmu. Hal tersebut pasti ada hikmahnya untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran kedepannya. Kedepannya, kamu harus selalu waspada dan berhati-hati terhadap berbagai pikiran yang menyimpang dari ajaran Islam."
*******
Sesampainya aku dirumah, "Assalamualaikum". Ku ucapkan salam tiga kali, tetapi tidak ada yang menjawab seorang pun. Kemudian aku bertanya ke tetangga sebelah, Bu Suminah. "Assalamualaikum.  Permisi, maaf ganggu sebentar. Apakah Ibu tahu keberadaan Ibu dan Ayahku?"
Sambil mengusap punggungku Bu Suminah menjawab, "Waalaikumsalam. Sabar ya Dan!"  
Kemudian ku bertanya lagi, "Memangnya Ibu dan Ayah kemana Bu?"
Bu Suminah menjawab kembali, "Jadi begini, Barusan Kakakmu datang. Ibu lihat dia berjalan sempoyongan seperti orang mabuk. Ketika Kakakmu masuk ke rumah, Ibu mendengar pertengkaran antara Kakakmu dan orang tuamu. Lalu Ibumu memanggil suami Ibu untuk meminta bantuan untuk dibawa ke rumah sakit. Sepertinya serangan jantung Bapakmu kambuh lagi sedangkan Kakakmu pergi lagi entah kemana . Ibu juga rencananya sekarang mau menyusul ke rumah sakit, Dan."
Aku langsung panik dan ingin segera menengok Ayahku di rumah sakit, "Innalillah, Kak Hafizh sudah keterlaluan. Ya sudah aku ikut Ibu saja ke rumah sakit ya!"
Bu Suminah menyetujui, "Iya ayo. Yang sabar ya nak, semua pasti ada jalan keluarnya." Kemudian aku dan Ibu Suminah pergi ke rumah sakit dimana Ayahku dirawat.
Ketika tiba di rumah sakit, aku dan Ibu Suminah langsung menuju ke bagian administrasi rumah sakit untuk menanyakan di kamar mana Ayahku dirawat.
 "Bapak Mustafa ada di kamar nomor 13 A, lantai 3." Ujar sang suster.
Kemudian kami menaiki lift. Dengan berjalan cepat, aku dan Ibu Suminah tak sabar untuk segera menemui Ayahku. Akhirnya kami menemukan kamar bernomor 13 A dilantai 3.
Kemudian ku ketuk pintu kamar, "Tok..tok...tok... assalamualaikum!" Tiba-tiba ada seseorang yang membukakan pintu dari dalam, dan itu adalah Ibuku.
Sambil menangis ku peluk Ibu, "Ibu, bagaimana kabar Ayah? Apakah Ayah masih bisa melihat Ziddan?".
Ibuku menjawab dengan suara berbisik, "Alhamdulillah Dan, Ayah masih bisa melihat Ziddan. Tetapi nanti, Ayah baru saja tidur."
Lalu aku bertanya, "Ibu, apakah biaya pengobatan Ayah sudah siap?"
Ibu menjawab, "Nah, itu Dan. Kita hanya punya uang separuh dari biaya pengobatan Ayah."
Dengan wajah penuh simpati, Ibu Suminah berkata, "Untuk biaya, tenang saja Bu, saya dan suami saya akan membantu pengobatan suami Ibu!"
Dengan sumringah, Ibuku berkata, "Alhamdulillah, terima kasih banyak Ya Allah, terima kasih Bu Suminah! Semoga Allah memberikan keridhoan kepada Ibu ya!." Kemudian Ibu Suminah mengamininya. Sambil menunggu Ayah bangun, aku menyenpatkan diri untuk melaksanakan solat sunat duha terlebih dahulu sambil mendoakan yang terbaik untuk keadaan keluargaku saat ini.
Beberapa hari kemudian
Alhamdulillah hari ini Ayahku sudah dapat pulang ke rumah. Dengan menggunakan dana bantuan dari Ibu Suminah, Kami dapat melunasi semua pembiayaan rumah sakit Ayah. Lalu kami pulang ke rumah diantar oleh suaminya Ibu Suminah menggunakan mobil yang bisa dibilang cukup mewah. Di perjalanan kami bersenda gurau layaknya seperti hidup tanpa beban. Ya, memang kami sedang berusaha untuk melupakan kejadian kemarin dan menyerahkan semua permasalahan kepada Allah swt. supaya diberikan yang terbaik.
Akhirnya tiba juga kami di rumah. Ibu Suminah dan suaminya pun berpamitan pulang, tak lupa kami ucapkan terima kasih kepadanya. Sebelum beristirahat, aku berusaha untuk membersihkan lantai yang penuh dengan debu karena sudah tiga hari tidak ditinggali, begitu juga dengan kursi, televisi dan kasur. Ketika aku membereskan tempat tidur Kakakku, lagi-lagi aku teringat akan sosok Kakakku. Tetapi, ya sudahlah apa boleh buat, aku dan orang tuaku tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kami serahkan masalah itu kepada Allah Yang Maha Mengatur segalanya. Akhirnya pekerjaanku selesai seiring dengan adzan maghrib tiba. Kemudian aku membersihkan diri karena badan ini sudah lengket, penuh dengan keringat. Kebetulan hari ini adalah hari Sabtu, sehingga aku bisa beristirahat lebih awal, tanpa harus terbebani tugas-tugas sekolah.
Keesokan harinya, seperti biasa aku bangun tidur pukul setengah empat pagi. Tanpa basa-basi, aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dilanjutkan dengan solat tahajud sambil menunggu adzan subuh tiba. Aku tidak mau sama sekali meninggalkan solat subuh berjamaah di masjid dekat rumah karena aku tahu bahwa pahala solat subuh berjamaah bagaikan pahala solat semalam penuh. Begitu juga dengan solat sunat sebelum solat subuh. Pahalanya lebih baik dari dunia dan segala isinya.
Saat aku sarapan pagi bersama dengan Ibu dan Ayahku, tiba-tiba aku mendapat telepon dari seorang teman sekolahku bernama Akhyar yang memberitakan bahwa hari ini ada kajian Majelis Jejak Nabi di Masjid pusat kota. Kajian ini rutin dilaksanakan sebulan sekali, dan aku tidak pernah absen menghadirinya. Kajian ini diisi oleh seorang pemateri yang sudah tidak asing lagi di telinga anak-anak rohis sepertiku, yaitu Salam Afillah. Beliau terkenal lewat dakwahnya melalui media sosial twitter dan buku-bukunya yang sangat bagus untuk dibaca. Kemudian langsung saja aku bersiap-siap untuk menghadiri kajian itu.
Tak lupa aku meminta izin kepada Ibu dan Ayahku, “Ibu, Ayah, bolehkah Zidan menghadiri kajian Majelis Jejak Nabi?”
Kemudian Ibuku menjawab “Tentu anakku, apa sih yang tidak boleh untuk kebaikan? Memangnya dimana kajiannya Dan?”
Dengan semangat aku menjawab “Itu loh Bu di masjid pusat kota.”
“Oh, disana. Seandainya Ayah sehat, Ibu dan Ayah pasti akan ikut bersamamu Nak sambil berjalan-jalan, sudah lama kita tidak berjalan-jalan bersama. Kesana kamu naik apa, Dan?” Ujar Ibuku.
Aku menjawab “Iya, ini yang terbaik kok Mah, sudah takdir. Hari ini aku berangkat bersama temanku, Akhyar. Dia dan sopirnya akan menjemputku ke sini, sehingga aku tidak perlu naik angkutan umum.”
Ibu berkata “Alhamdulillah, bagus lah kalau begitu. Nih uang buat jajan kamu disana, siapa tahu perlu.”
Sambil menerima uang, aku berkata “Alhamdulillah, terima kasih Bu.” Kemudian aku pamit kepada Ayah dan Ibuku “Ibu, Ayah, Zidan pamit dulu ya, Assalamualaikum!”
Mereka menjawab “Waalaikumsalam.” Lalu Ayah berkata “Tetap berhati-hati ya nak, semoga berkah!”
Sambil berjalan meninggalkan rumah, aku berkata “Amin Yah! Doakan aku selalu.” Kemudian aku pun bergegas pergi ke jalan raya, dan terlihat mobil temanku sudah menunggu. Lalu aku pun pergi bersamanya menuju ke masjid pusat kota.
Sepanjang perjalanan aku dan Akhyar tidak henti-hentinya bercerita tentang masa dulu kita berdua. Akhyar merupakan salah satu sahabatku sewaktu masih sekolah dasar, jadi wajar saja apabila aku dan Akhyar saling bercengkrama karena sudah lama tidak berjumpa. Saat ku bercerita tentang keadaan Kakakku saat ini, ku lihat wajah akhyar begitu pucat, sampai-sampai ia meneteskan air mata. Mau tidak menangis bagaimana, dulu sewaktu aku dan Akhyar masih kecil, Kak Hafizh selalu menyempatkan diri untuk mengajarkan kami membaca Al-Qur’an dan mempelajari ilmu-ilmu agama yang lain.
Saat kami melewati pasar, kembali aku menemukan seorang pemuda yang tengah memeras uang kepada para pedagang. Pikiranku kembali tertuju kepada Kak Hafizh karena wajahnya sangat mirip dengan Kakakku.
Tidak bermaksud mengagetkan, Akhyar tiba-tiba berteriak, “Allahu akbar, itu kan Kak Hafizh Dan?”
Diriku yang terkaget menjawab, “Iya, aku juga dari semenjak waktu itu sudah menduga bahwa pemuda itu adalah Kak Hafizh karena wajah dan tampangnya sangat mirip, tapi aku berusaha berpikir positif, menganggap bahwa pemuda itu bukanlah Kak Hafizh.” Setelah mendengarkan penjelasan Akhyar, kali ini aku sangat yakin bahwa sosok pemuda itu adalah Kak Hafizh. Tanpa pikir panjang, aku dan Akhyar turun dari mobil dan segera menemui sosok pemuda yang diduga Kak Hafizh.
Kemudian ku panggil pemuda itu, “Kak Apis...Kak Apis...”
Kak Hafizh pun menengok ke arahku, “Ada apa kamu kesini hah?”
Kemudian aku menjawab, “Aku sangat rindu Kakak, dirumah sepi, tak ada lagi yang mengajak ngaji bareng lagi. Ayah dan Ibu juga menunggu Kakak.”
Kakakku lantas menjawab, “Halah, kamu ini. Buat apa ngaji hah? Ga ada gunanya, cuma ngabisin waktu doang!”
Dengan wajah cemas, aku berkata, “Astaghfirullah Kakak, istighfar Kak! Allah Maha Melihat.”
Kemudian Akhyar berkata, “Kak Hafizh, masih ingatkah denganku? Dahulu kita suka ngaji bareng loh!”
Kak Hafizh menjawab, “Haduh, siapa lagi ini hah? Iya kita suka ngaji bareng, tapi sekarang udah gak zaman ngajian-ngajian tau!”
Aku bertanya, “Selama ini kenapa Kakak tidak pulang-pulang ke rumah?”
Kak Hafizh berkata, “Kamu ini sok perhatian sekali sih. Udah ah gue cabut!” Dengan menggunakan sepeda motor entah milik siapa, dia menarik gas sekencang mungkin meninggalkan kami. Sambil menahan rasa sedih, kami pun bergegas kembali menuju mobil.
*******
Setelah kajian berakhir, aku dan Akhyar langsung menuju mobil untuk bergegas pulang. Tak lupa Akhyar juga mengantarkanku pulang ke rumah. Namun Akhar hanya mengantarkanku sampai jalan raya saja, tidak sempat mengunjungi rumahku karena dia harus melakukan suatu urusan yang menurutnya sangat penting.
Sesampainya aku dirumah, ku ucapkan salam, “Assalamualaikum.” Ku dengar Ayahku menjawab salam.
Sambil membuka pintu, ayahku menyapa, “Nah, akhirnya kamu datang juga. Bagaimana kajiannya?”
Kemudian ku jawab, “Hehe. Iya Yah, kajiannya sangat menarik sekali. Disana dibahas tentang jaringan-jaringan atau organisasi-organisasi yang menyimpang dari ajaran Islam. Seperti, JIL atau kepanjangan dari Jaringan Islam Liberal. Saat ini, sudah banyak pemuda-pemuda yang pikirannya terpengaruh oleh jaringan ini. Yang awalnya soleh-solehah, kemudian berubah menjadi penentang ajaran Islam. Kesimpulannya kita harus waspada dan menolak jaringan ini.”
Dengan wajah murung, Ayahku berkata, “Sepertinya, Kakakmu juga sudah terpengaruh pikiran-pikiran sesat ya Dan!”
Kemudian aku berkata “Iya yah, sepertinya begitu.” Aku sengaja untuk tidak memberitahukan berita tentang pertemuanku dengan Kak Hafizh. Aku takut jikalau serangan jantung Ayahku kambuh lagi, dan beban pikirannya semakin berat.
Tiba-tiba Ayahku menepuk pundakku, “Hey! Kok kamu melamun sih, jangan-jangan kamu sudah terpengaruh oleh JIL ya!”
Aku terkaget, “Naudzubillah Ayah, Nauzubillah.”
“Hehe Ayah Cuma becanda kok. Ya sudah kalau begitu. Tuh Ibumu sedang membuat bubur kacang kesukaanmu di dapur!” Ujar Ayahku sambil menunjuk dapur
Dengan sumringah, aku berkata, “Wah, alhamdulillah.” Kemudian aku pun langsung menuju dapur untuk sekedar mencicipi makanan kesukaanku, yaitu bubur kacang.
*******
Beberapa bulan kemudian
Hari berganti hari, belum juga ada perubahan pada diri Kakakku. Ku lihat dia setiap hari selalu berjalan-jalan di sepanjang pasar pusat kota, tak jarang dia pun bermabuk-mabukkan, mengamen, dan meminta-minta secara paksa. Berita itu tak dapat ditutup-tutupi. Hampir semua kerabat dan teman-temanku tahu bahwa Kakakku sudah berubah. Bahkan Ayah dan Ibuku sudah mengetahuinya, untung saja serangan jantung Ayahku tidak kambuh lagi, mungkin karena sudah terbiasa. Pernah suatu ketika, aku mendengar kabar bahwa Kak Hafizh terkena razia gepeng dan preman. Namun, entah kenapa, dia tidak juga jera atas hukuman tersebut. Kakakku memang sudah sangat keterlaluan. Setiap kali aku menanyakan berita tentang Kak Hafizh kepada Ibu dan Ayah, selalu saja mereka menjawab, “Ya sudahlah, mau bagaimana lagi, kita serahkan semuanya kepada Allah Swt. Yang Maha Memiliki segalanya.” Ibu dan Ayah sepertinya sudah pasrah akan kenyataan tersebut. Kami menunggu keajaiban.
Sepulang melaksanakan solat isya berjamaah di masjid dekat rumah, tiba-tiba terdengar suara telepon berbunyi, “Krining, krining.” Ku menebak bahwa telepon ini berasal dari nenekku di desa. Semenjak nenek tahu tentang berita keadaan Kakakku saat ini, beliau sering sekali menelepon ke rumahku, dan biasanya menelepon sehabis solat isya. Namun kali ini berbeda, yang menelepon rumahku adalah seorang bapak-bapak dengan suara yang bisa dibilang sangat panik. Dia adalah pamanku, Ismail.
“Hallo, halo assalamualaikum ini dengan siapa ya?” Tanya Pamanku.
“Waalaikumsalam. Ini dengan Ziddan. Maaf, Bapak siapa ya?” Tanyaku
“Ini dengan Pamanmu, Ismail.” Ujar Pamanku
“Memangnya ada apa Paman? Kok Paman terdengarnya panik sekali?” Tanyaku
“Ini Dan, ini, Kakakmu!” Ujarnya
“Kakak kenapa Paman?” Tanyaku
“Kakakmu kecelakaan. Dia tertabrak oleh truk tronton. Menurut warga sekitar Kakakmu diduga mabuk, karena terlihat jalan sempoyongan.” Ujar Pamanku.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.” Aku pun terkaget dan hampir pingsan.
“Oh ya. Kamu tahan dulu berita ini. Jangan sampai Ibu dan Ayahmu tahu. Kamu sudah tahukan, Ayahmu mengidap penyakit jantung.”
“Iya, Paman. Aku tidak akan memberitahukannya kepada Ibu dan Ayah.”
“Sekarang Paman dan Kakakmu sedang berada di mobil ambulan, menuju rumah sakit Asy-Syifa. Kalau mau menengok, besok pagi saja. Paman akan kirimkan pesan tentang lantai dan nomor kamar dimana Kakakmu berada.”
“Iya, Paman. Jaga Kak Hafizh ya! Insya Allah besok, sepulang sekolah aku akan menjenguk Kakakku.”
“Insya Allah Dan! Sambil doakan juga Kakakmu di rumah ya. Saat ini doa adalah senjata terakhir kita supaya Kak Hafizh diberikan yang terbaik oleh Allah.Ya sudah Paman tutup dulu teleponnya ya! Paman tunggu kedatanganmu di rumah sakit.” Ujar Pamanku.
“Insya Allah Paman. Waalaikumsalam.” Lalu ku tutup telepon dan langsung bergegas ke kamar.
Malam ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Keringat dingin menyelimuti dinginnya malam di hari ini. Pikiranku masih terbayang akan sosok Kakakku yang sedang terkujur tak berdaya di rumah sakit. Ku terus panjatkan do’a, supaya Kakakku diberikan yang terbaik dan diberikan waktu untuk bertaubat. Aku takut jikalau Kakakku meninggal dalam keadaan Su’ul khatimah.
Suara desah gelisahku ternyata membangunkan Ibuku dari tidur nyenyaknya. Kemudian Ibuku membuka pintu kamarku. Lalu menanyakan apa yang sedang terjadi. Tanpa bermaksud membohongi Ibu, aku mengatakan bahwa aku sedang pusing dengan tugas sekolah yang menumpuk. Sekali lagi, aku takut bahwa Ibuku belum siap menerima berita kecelakaan Kak Hafizh, apalagi tengah malam seperti ini. Lalu Ibuku menasihatiku bahwa untuk menjadi seorang yang sukses, tidak bisa dilakukan dengan berleha-leha, tetapi harus dengan usaha yang keras. Kemudian, Ibuku memberikanku segelas air putih hangat supaya aku menjadi lebih tenang. Tak lama dari itu, Ibuku akhirnya kembali ke kamarnya untuk melanjutkan istirahat.
Sang fajar pun akhirnya mulai menyingsing, ayam jantan mulai berkokok saling bersahutan. Pikiranku langsung teringat akan sosok Kakakku yang sedang terbaring di rumah sakit. Walaupun aku sangat ingin sekali menjenguk Kak Hafizh, aku harus terlebih dahulu menjalankan kewajibanku sebagai seorang pelajar, yaitu bersekolah. Lagipula Pamanku juga telah  menyuruhku supaya bersekolah terlebih dahulu sebelum menjenguk Kakakku di rumah sakit.
Tak seperti biasanya, kali ini aku menggandeng ranselku yang penuh dengan baju dan peralatan lainnya. Waktu telah menunjukkan pukul enam pagi, saatnya aku untuk pergi berangkat ke sekolah. Sebelum berangkat, tak lupa aku berpamitan dengan Ayah dan Ibuku. Mereka nampaknya terlihat kebingungan saat melihat ranselku yang penuh dengan barang bawaan. Kemudian Ibuku menanyakan mengapa aku membawa barang-barang yang begitu banyak. Lalu aku menjawabnya dengan penuh rasa bersalah bahwa aku akan mengikuti kegiatan kamping, padahal sebenarnya aku akan menginap di rumah sakit untuk menjenguk Kak Hafizh. Sungguh aku takut sekali jikalau Ibu sampai mengetahui kabar kecelakaan Kakakku. Namun aku berjanji pada diriku sendiri, apabila keadaan Kak Hafizh sudah membaik, aku akan memberitakan hal ini kepada Ibu dan Ayahku.
*******
Akhirnya bel tanda pulang sekolah berdenting juga. Tanpa menunggu lama, aku pun langsung bergegas pergi menuju rumah sakit Asy Syifa dimana Kakakku dirawat saat ini.   
Ketika tiba di halaman rumah sakit, ku lihat betapa megahnya rumah sakit ini. Diriku bertanya-tanya di dalam hati tentang masalah pembiayaan pengobatan Kak Hafizh. Untuk pengobatan Ayahku saja, saat ini keluargaku masih berhutang kepada Ibu Suminah. Berdasarkan pesan singkat dari Paman Ismail, Kakakku dirawat di kamar nomor 15B lantai 3. Kemudian aku langsung saja bergegas memasuki lift menuju lantai 3. Saat berada di lorong lantai 3, ku lihat Paman sedang duduk di depan kamar 15B sambil membaca Al Qur’an. Sepertinya ia sengaja berada di luar kamar supaya kita dapat mengobrol terlebih dahulu perihal kecelakaan Kakakku dan keadaan Kakakku saat ini, sehingga aku tidak kaget saat berjumpa dengan Kak Hafizh.
Benar saja dugaanku. Lalu ku hampiri Paman dan mengucapkan salam. Menurut Paman, Kak Hafizh baru saja beristirahat yang sebelumnya ia melakukan santap malam. Sambil menunggu Kakakku terbangun, Paman menceritakan kronologis kecelakaan yang dialami oleh Kak Hafizh.
“Dan, Paman dengar berita kecelakaan Kakakmu dari seorang teman Paman yang melihat langsung kejadian tersebut. Saat itu selepas solat Isya di masjid dekat pasar, Paman berjalan pulang menuju rumah. Namun tiba-tiba, ada beberapa orang yang berkerumun di pinggir jalan. Saat menghampiri kerumunan tersebut, Paman sesaat melihat sosok wajah yang tidak asing di pikiran Paman. Setelah mengingat-ngingat, ternyata itu adalah Kakakmu Dan! Hafizh. Kemudian Paman segera memanggil ambulan untuk dibawa ke rumah sakit. Lalu Paman tanyakan kronologis ceritanya kepada teman Paman yang kebetulan melihat langsung kejadian kecelakaan tersebut. Tak lama kemudian, akhirnya mobil ambulan pun datang menjemput Kakakmu, dan Paman ikut juga dalam mobil ambulan tersebut.” Ujar Pamanku.
“Menurut teman Paman, saat itu Kak Hafizh berjalan sempoyongan menuju ke suatu tempat, mungkin karena dia mabuk. Kemudian saat dia menyebrang, tiba-tiba ada sebuah truk dengan kecepatan cukup tinggi menabrak Kak Hafizh.” Ujar Pamanku menambahkan.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.” Ujarku terkaget
Pamanku menambahkan lagi, “Oh ya, Dan. Menurut pemeriksaan dokter yang terbaru, Kak Hafizh mengalami cedera di kepalanya dan dia agak sulit mengingat sesuatu yang sudah terjadi atau biasa kita sebut sebagai penyakit amnesia. Buktinya saat Paman mengobrol dengannya, dia tidak tahu siapa Paman. Jadi, jangan kaget kalau Kakakmu tidak bisa mengingatmu Menurut paman, keadaan Kakakmu saat ini, bisa kita manfaatkan untuk kembali mengisi pikiran Kakakmu yang awalnya menyimpang dari ajaran Islam menjadi sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan rasulnya.”
“Ya Allah, semoga ini adalah yang terbaik untuk Kakakku. Nah benar paman, itu ide yang cemerlang! Mudah-mudah kita bisa mengisi kembali pikirannya dengan sesuatu yang positif dan tentunya sesuai dengan ajaran Islam.” Ujarku optimis. Kemudian aku bertanya, “Paman, bagaimana dengan urusan pembiayaan Kak Hafizh? Saat ini keadaan keuangan keluargaku tidak cukup untuk membiayai pengobatan Kak Hafizh, bahkan untuk biaya pengobatan Ayahku saja, saat ini masih berhutang!”
“Kamu tidak usah menghiraukan masalah biaya pengobatan Kakakmu, Dan. Semuanya sudah Paman urus kok!”
Ya, Paman memang berbeda dengan saudara-saudaraku yang lain. Dia bisa dibilang orang paling kaya di keluarga besarku. Menurut Ibuku, dahulu sejak dia masih kecil, Paman tak pernah sama sekali melawan orang tuanya, dan dia sangat rajin sekali untuk bersekolah. Jadi, wajar saja apabila saat ini kondisi keuangan Paman sangat subur.
Telah berlalu dua jam aku dan Paman berbincang-bincang. Namun Kakakku belum juga terbangun. Mungkin dia memerlukan istirahat yang lebih untuk memulihkan kondisinya. Kemudian aku pun tertidur di sebuah sofa dalam kamar, sedangkan Paman membaca Al Qur’an sambil berjaga-jaga jikalau Kakakku membutuhkan pertolongan.
Keesokan harinya, tepatnya pukul delapan pagi selepas aku melaksanakan solat duha, Kakakku akhirnya terbangun juga. Aku langsung membangunkan Paman yang masih terlelap tidur karena semalaman dia tidak tidur. Sebelum aku berinteraksi dengan Kak Hafizh, terlebih dahulu aku berikan minum air hangat, dilanjutkan dengan makan bubur dan buah-buahan karena aku yakin bahwa Kak Hafizh pasti sedang lapar. Selepas makan dan minum, aku mencoba berinteraksi dengannya perlahan-lahan, tetapi dia terlihat kebingungan. Menurutnya, dia merasa tidak asing dengan wajahku. Kemudian ku perkenalkan diriku dan  menjelaskan bahwa aku adalah adiknya. Lalu aku mengajak Kakakku untuk pergi ke taman supaya dapat menghirup udara bebas. Sambil menghampiri tman bunga, aku jelaskan sedikit-sedikit tentang ilmu tauhid bahwa yang menciptakan semua ini adalah Allah. Ketika adzan zuhur tiba, ku ajak Kakakku untuk melakukan solat berjamaah. Sebelumnya, kuajarkan kembali ia tentang gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan solat. Begitu seterusnya. Tiap detik, tiap menit, tiap jam kuajarkan Kakakku tentang hal-hal yang positif dan tentunya sesuai dengan ajaran Islam supaya pikirannya terisi kembali oleh hal-hal yang bersifat Islami.
Pada suatu hari, aku mendapatkan telepon dari Ibuku tentang keberadaanku saat ini. Setiap ibu menanyakan kapan pulang, ku jawab bahwa beberapa hari lagi aku akan pulang. Ibu dan Ayahku semakin khawatir dan cemas terhadap keadaanku karena aku telah berada diluar rumah selama lima hari, padahal aku mengatakan bahwa aku akan berada di luar rumah selama tiga hari. Mereka takut jikalau aku mengikuti jejak Kakakku yang keadaannya berubah, awalnya soleh, tetapi berubah menjadi kacau dan kepribadiannya diluar syariat agama Islam. Namun kuberitahukan kepada mereka bahwa aku ini dalam keadaan baik-baik saja, tidak sesat dan tidak pula kacau.
Setelah bernegosiasi dengan dokter tentang waktu diperbolehkannya Kak Hafizh pulang, langsung ku beritahukan Paman bahwa besok pagi aku dan Kakakku sudah dapat pulang ke rumah. Ku beritahukan bahwa saat ini keadaan Kak Hafizh sudah semakin membaik. Dia sudah bisa solat, membaca Al Quran, berzikir, dsb. Aku meminta tolong kepada Paman untuk mengantarkan aku dan Kakakku dari rumah sakit menuju rumah sambil menguruskan surat-surat biaya pengobatan Kak Hafizh karena Paman sudah berjanji bahwa ia akan membiayai semua pengobatan Kak Hafizh. Aku sudah tak sabar untuk bertemu dengan Ibu dan Ayahku, aku rindu terhadap mereka. Ya, memang Paman selama empat hari terakhir tidak menemani Kak hafizh di rumah sakit, dia harus bekerja di luar kota.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, aku dan Kakakku membereskan barang-barang dan peralatan lainnya selepas melaksanakan solat subuh karena hari ini Paman akan menjemput aku dan Kakakku dari rumah sakit menuju ke rumah. Sambil menunggu kedatangan Pamanku, aku beritahukan segala seuatu tentang Ibu dan Ayahku kepada Kak Hafizh. Bahwa mereka adalah orang yang telah membesarkan Kak Hafizh hingga seperti ini, perjuangan mereka menafkahi keluarganya tidak boleh disia-siakan. Kemudian ku lihat wajah Kak Hafizh memucat, air matanya mengalir. Menurutnya dia rindu terhadap sosok Ibu dan Ayah.
Paman Ismail pun akhirnya datang. Segera saja ia membereskan semua surat-surat dan biaya pengobatan Kak Hafizh. Setelah selesai, Paman mengantarkan aku dan Kak Hafizh menuju rumah dengan menggunakan mobil mewah pribadinya. Sebelum sampai di rumah, aku menyempatkan untuk menelepon Ayah dan Ibuku terlebih dahulu bahwa hari ini aku akan pulang membawa oleh-oleh yang tak ternilai harganya.
Saat kami sampai di depan rumah, langsung saja kami ucapkan salam. Kemudian seseorang menjawab dari dalam rumah dan membukakan pintu untuk kami. Ketika Ibu melihat sosok Kak Hafizh, dirinya begitu terkaget, hampir-hampir ia pingsan. Ibuku berniat untuk mengusir Kak Hafizh dari rumah. Namun setelah kujelaskan apa yang terjadi, Ibuku merasa sumringah dan hatinya berbunga-bunga. Lalu Ibuku memanggil Ayah yang sedang tidur siang dikamar, dan memberitahukan perubahan positif yang telah dialami oleh Kak Hafizh. Kulihat wajah mereka begitu sumringah, tak henti-hentinya kami meneteskan air mata bahagia. Kemudian ku jelaskan mengapa semua hal ini bisa terjadi dan tak lupa aku meminta maaf atas semua kebohongan yang telah aku lakukan selama ini.
Akhirnya, masalah besar yang ada di benak keluargaku sekarang sudah hilang walaupun untuk menghilangkannya dibutuhkan sesuatu yang pahit. Namun ku syukuri semua ini atas terkabulnya do’aku, do’a Ibuku, do’a Ayahku dan do’a-do’a lainnya yang meminta agar Allah memberikan hal terbaik untuk Kakakku. Saat ini kehidupan keluargaku menjadi lebih harmonis, semua berjalan dengan teratur. Kakakku sudah dapat menyaring untuk membedakan hal mana yang sesuai dengan ajaran Islam dan hal mana yang tidak sesuai ajaran Islam. Jadi, aku tidak perlu khawatir jikalau Kakakku akan kembali kepada keadaan semula yang begitu menyuramkan, kecuali jika Allah berkehendak. Kak Hafizh yang ingatannya sudah mulai pulih, dimanfaatkannya untuk beraktivitas seperti biasa dan ia pun mulai mencari pekerjaan untuk membantu kondisi keuangan keluarganya.

Biografi Penulis

Muhammad Rijal Senjaya, lahir di Bandung, 31 Juli 1998. Tahun 2010 lulus dari sekolah dasar SD Negeri Cimuncang 2, dan tahun 2013 lulus dari sekolah menengah SMP Negeri 7 Bandung. Saat menulis cerpen ini, saya sedang menimba ilmu di sekolah menegah SMA Negeri 3 Bandung. Saya merupakan anak dari pasangan Bapak Ir. Doddy Koswara P. S. dan Ibu Rina Marliani, SH. dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Adik-adik saya bernama Muhammad Ridwan Maulana Senjaya dan Muhammad Ridho Arifin Senjaya. Hobby saya yaitu bermain sepakbola dan berkumpul bersama orang-orang terdekat.


Peringatan!!!
 Dilarang meng-copy post ini secara illegal, kecuali jika kamu mendapat izin dari penulis atau dengan mencantumkan URL pada blog atau tugasmu.
Hargailah penulis OK!!!