Karya: Muhammad Rijal Senjaya
Dentingan jam
membangunkanku, memecah kesunyian di pagi buta itu. Ku buka mata
perlahan-lahan, kemudian ku ucapkan syukur kepada Allah swt. yang telah
membangunkanku dari tidur nyenyak malam ini. Aku bergegas keluar kamar dan
membukakan pintu sambil berhati-hati supaya tidak terdengar suara mengingi
karena engselnya yang telah kering. Ku melihat sesosok wanita dan pria yang
tengah berdiri menunaikan solat tahajud dengan penuh kehusyuan, mereka adalah Ibu
dan Kakakku. Betapa sumringahnya hatiku melihat pemandangan seperti ini.
Kemudian aku mengambil air wudhu dan ikut melaksanakan solat tahajud bersama
mereka. Ku rasakan betapa nikmat dan khusyunya solat tahajud di pagi buta ini.
Di rumah, aku
tinggal bersama Ibu, Ayah dan Kakakku. Keadaan sekarang ini, merupakan keadaan
yang ku dambakan sejak beberapa tahun yang lalu. Saat inilah aku merasakan arti
kehidupan yang sesungguhnya. Yaitu kehidupan yang penuh dengan keberkahan.
Dahulu memang
berbeda dengan saat ini. Beberapa tahun yang lalu, terjadi suatu peristiwa yang
menggemparkan keadaan keluargaku. Kakakku mendadak untuk meninggalkan solat
serta ibadah-ibadah lainnya. Entah apa yang membuat semua itu terjadi. Padahal
sebelumnya, kakakku adalah anak yang paling soleh diantara saudara-saudaranya.
Kakakku tidak pernah meninggalkan solat tahajud, solat duha apalagi solat wajib
lima waktu. Setiap ada kajian Islami, selalu saja ia menyempatkan diri untuk
menghadirinya. Di kampusnya pun begitu, ia terpilih sebagai ketua rohani islam
dan sangat pandai dalam urusan berorganisasi. Di mata teman-temannya, Kakakku
adalah seorang siswa teladan, rajin, pandai dan taat terhadap perintah agama.
Selain sebagai
ketua rohis di kampusnya, Kakakku juga bergerak sebagai aktivis kemanusiaan dan
solidaritas untuk Gaza. Oleh karena itulah, setiap hari kakakku sangat sibuk
sekali mencari bantuan berupa donasi ke berbagai tempat, termasuk ke
sekolahku.
“Dan, tuh liat,
saudara-saudara muslim kita yang berada di Palestina sekarang sedang berjihad
fisabilillah. Mereka berani melawan pasukan Israel laknatullah tanpa senjata
sama sekali, paling hanya sebongkah batu yang tiada artinya dibandingkan
senjata-senjata canggih milik Israel laknatullah”. Ujar Kak Hafizh sambil
menonton televisi sehabis pulang sekolah.
“Ya Allah,
kasihan sekali mereka ya Kak! Ujarku menanggapi siaran televisi
“Ya. Makanya
kita disini tidak boleh tinggal diam. Banyak cara yang sebenarnya dapat kita
lakukan untuk menolong saudara-saudara kita di Palestina. Misalnya,
menyedekahkan sebagian harta kita untuk membantu kebutuhan pokok mereka,
seperti, infaq, sedekah, donasi, obat-obatan, makanan, minuman dsb. Dan jangan
lupa untuk selalu berdoa untuk mendoakan mereka setiap sehabis solat”.
“Siap Kak! Akan
kulakukan demi kejayaan umat ini! Allahu akbar!”
*******
Namun
akhir-akhir ini, kulihat Kakakku menjadi seorang yang pemurung, lebih mudah
emosian dan kadang-kadang ia juga suka melupakan aktifitas ibadah yang biasa ia
lakukan sebelumnya. Entah kenapa hal ini bisa terjadi. Apa yang menyebabkan
Kakakku menjadi seperti ini? Aku akan mencoba untuk menyelidiki masalah ini
dengan perlahan tapi pasti.
Hari ini Kakakku
berangkat pagi-pagi sekali, karena menurutnya ada suatu kegiatan yang sangat
penting, sehingga dia takut jikalau datang terlambat ke acara tersebut.
Menurutnya, acara tersebut akan berlangsung selama tiga hari. Ku lihat kamarnya
masih berantakan dan tak sempat ia merapikan tempat tidurnya. Saat ku coba
merapikan tempat tidurnya, aku menemukan sebuah buku diantara bantal-bantalnya.
Kulihat sampul bukunya yang penuh dengan gambar-gambar abstrak, tak tahu apa
maknanya. Buku tersebut berjudul “Jalan Menuju Kemenangan”.
Tiba-tiba ibu
memanggilku, “Dan, tolong belikan gula seperempat, terigu sekilo dan telur
setengah kilo, oh iya belikan juga obat untuk ayahmu di apotik depan! Uang
kembaliannya pakai saja olehmu untuk membeli sesuatu.” Kemudian aku pun menuruti
perintah Ibu dan menyimpan buku tersebut di rak buku.
Bulan pun mulai
menyingsing seiring terbenamnya matahari. Kakakku belum juga pulang ke rumah,
biarlah, mungkin ia sedang mementor adik-adiknya di kampus. Setelah solat
maghrib, aku sedikit merenung tentang keadaan Kakakku saat ini yang mulai
kacau. Tiba-tiba muncul dalam pikiranku tentang buku yang tadi pagi ku temukan
di kamar Kakakku. Rasa penasaran pun mulai timbul di benak hatiku untuk segera
membaca buku tersebut. Memang, buku itu terlihat berbeda dari buku-buku yang
lain, entah mengapa aku merasakan hal seperti itu. Lalu aku memasuki kamar
Kakakku dan segera membaca buku tersebut.
Pada awal-awal
bacaan buku tersebut, dibahas tentang nilai-nilai ketuhanan yang bisa dikatakan
menyimpang dari ajaran Islam. Awalnya saja sudah begitu, apalagi
kelanjutannnya. Kemudian aku memutuskan
untuk tidak melanjutkan membaca. Karena aku takut jikalau imanku tidak kuat
ditambah dengan pengetahuan agamaku yang masih rendah, diriku bisa
teromabang-ambing dalam kebingungan dan kegalauan dan yang lebih parah, mungkin
aku bisa murtad dari agama yang penuh dengan rahmat ini, yaitu agama Islam.
Sambil membawa
buku tersebut, aku pun keluar dari kamar Kakakku dengan penuh keringat dingin
dan ingin segera memberitahukan berita tentang isi buku tersebut kepada Ayah
dan Ibuku. Mereka berdua ternyata sedang membicarakan tentang keadaan Kakakku
saat ini di ruang keluarga. Ku lihat Ibuku tak henti-hentinya meneteskan air
mata, sedangkan Ayahku berusaha untuk menyabarkannya.
Kemudian akupun datang kepada mereka dengan
mengatakan “Ayah, Ibu, sabar yah! Aku juga sedang berusaha untuk sabar. Ini
merupakan ujian dari Allah. Seseorang tidak akan diuji melebihi batas
kemampuannya. Kita pasti bisa melewati ujian ini dengan kekuatan dan
pertolongan dari Allah Azza wa Jalla tentunya”.
Ayahku menjawab “Iya Nak, Kak Hafizh pasti
bisa kembali kepada keadaan semula seperti
yang dulu lagi. Oh iya, ngomong-ngomong dari mana saja kamu? Kok
suaranya nggak kedengeran? Terus kenapa kamu sampai keringatan gitu?”
Sambil
menunjukkan buku yang baru saja aku baca “Aku baru saja membaca buku ini di
kamar Kakak, Yah!”
Wajah Ayahku penasaran dengan bukunya “Buku
apa itu, Nak?”
Aku menjawab
“Yah, buku ini sangat berbahaya sekali, mungkin bisa mencuci otak para
pembacanya, kalau iman dan pengetahuan tauhidnya kurang.”
Ayahku masih penasaran “Memangnya kenapa,
Nak?”
Lalu ku beritahukan “Pada awal-awal bacaan
buku tersebut, dibahas tentang nilai-nilai ketuhanan yang bisa dikatakan
menyimpang dari ajaran Islam. Awalnya saja sudah begitu, apalagi kelanjutannnya!”
Ayahku masih tetap saja penasaran “Coba Ayah
lihat, Nak!” Kemudian aku memberikan buku tersebut kepada Ayah.
Setelah Ayahku
membaca sekilas, ia berkata “Innalillah, benar apa yang dikatakan olehmu,
Ziddan. Buku ini pernah Ayah lihat di kantor Kementerian Agama tiga tahun yang
lalu, saat Ayah masih bekerja. Bahkan, di media-media massa juga, diberitakan
bahwa buku ini sesat. Buku ini tidak diberikan izin untuk diperjual belikan,
karena membahayakan kualitas keimanan para pembacanya. Dari mana kau dapatkan
buku ini, Nak?”
Dengan wajah
kaget “Buku ini kan punya Kak Hafizh, Yah! Aku menemukannya di atas kasurnya.”
“Iya, buku itu
punya Kak Hafizh. Buku itu dikirim ke rumah kita lima hari yang lalu, entah
siapa yang mengirimnya, Ibu juga tidak tahu.” Ujar Ibuku
“Pantas saja,
akhir-akhir ini Kak Hafizh jauh sekali kelakuannya seperti yang dulu.” Ujar
Ayahku
“Ya! Bisa jadi
Yah. Karena buku ini, kelakuan Kak hafizh jadi kacau dan Kak Hafizh juga pernah
bilang bahwa ia telah menamatkan buku ini. Aku saja yang baru baca awalannya
merasa tidak enak, apalagi kalau ditamatkan!” Ujarku
“Innalillah.
Yasudah sekarang sudah larut malam, besok juga kamu sekolah, jangan sampai
bangun terlambat, nanti telat lagi hayoh!” Ayahku menasihati.
“Iya Yah! Ayah
dan Ibu juga harus jaga kondisi ya!” Ujarku
Ayah berkata “Iya Nak! Kita serahkan masalah
ini kepada Allah saja yang Maha Memiliki segalanya disertai dengan usaha kita
yang sungguh-sungguh”. Lalu aku pun berwudhu dan pergi ke kamar untuk
beristirahat.
Adzan
berkumandang, ayam pun saling bersahutan membangunkan orang-orang dari tidurnya
yang lelap. Kemudian ku segerakan untuk pergi solat subuh berjamaah ke masjid
dekat rumah. Setelah selesai, aku pun langsung mempersiapkan diri untuk
berangkat ke sekolah. Biasanya aku berangkat ke sekolah diantarkan oleh Kak
Hafizh menggunakan motor, tapi kali ini aku berangkat ke sekolah menggunakan
angkutan umum. Sebenarnya aku sangat tidak suka bepergian menggunakan angkot.
Sekali saja aku bepergian menggunakan angkot, pasti saja aku terlambat datang
ke sekolah. Ya, angkot selalu mengetem untuk menunggu penumpang-penumpang yang
lain. Selain terlambat, di dalam angkot pun sangat panas dan saling berdesakan.
Dan hal yang paling aku tidak sukai dari angkot ini adalah bercampurnya
penumpang lelaki dan penumpang wanita. Bahkan, aku pernah dikerumuni oleh para
wanita di dalam angkot, sedangkan lelakinya hanya aku. Bukannya aku tidak
menyukai wanita, tapi aku takut kalau saja kulitku bersentuhan dengan wanita
yang bukan muhrim.
Namun kali ini
dugaanku salah, saat aku memasuki angkutan umum, keadaannya sangat sepi, hanya
ada aku dan seorang ibu-ibu yang akan pergi ke pasar. Aku merasa nyaman dengan
keadaan angkutan umum yang seperti ini. Ku pandangi keadaan jalan ke kanan dan
ke kiri. Saat melewati pasar, tiba-tiba aku melihat sesosok pemuda yang sedang
meminta-minta secara paksa kepada seorang penjual tua di pasar tersebut. Karena
penjual tua tersebut tidak mau memberikan uang kepada sang pemuda, pemuda itu bertengkar
dengan si penjual tua. Kemudian sang pemuda mendorongnya sampai penjual tua itu
jatuh tersungkur ke tanah.
“Apakah itu
Kakakku? Kok mirip yah? Ah mungkin itu hanya imajinasiku saja!” Kemudian aku
pun melupakan kejadian tersebut dan melanjutkan perjalananku ke sekolah.
*******
Hari ini adalah
hari ketiga Kakakku mengikuti kegiatannya. Aku sangat merindukan sekali Kakakku
dan sudah tak sabar ingin memeluk erat tubuhnya.
Setelah pulang
sekolah, biasanya aku selalu mengikuti kegiatan mentoring atau bisa disebut
juga sebagai liqo/halaqah. Kegiatan tersebut merupakan suatu perkumpulan antara
seorang pementor dengan para siswa atau siswinya untuk menyiarkan ajaran Islam.
Saat mentoring berlangsung, aku menyempatkan diri untuk mencurhatkan isi hati
tentang keadaan Kakakku saat ini.
Mendengar kabar
tersebut, pementorku merasa tidak percaya, "Masya Allah, Kakakmu sekarang
seperti itu Dan?"
Kemudian ku
jelaskan dugaan penyebab hal itu terjadi, "Kang, apakah benar ada buku
yang bisa mencuci otak seseorang?"
Pementorku
menjawab "Iya, akang pernah dengar dari teman akang. Memangnya ada apa
dengan masalah tersebut Dan?”
“Begini Kang,
saat aku merapikan tempat tidur Kakakku, aku menemukan sebuah buku yang aku
curigai telah mencuci otak Kakakku. Baru saja aku membaca sedikit, buku
tersebut sudah membicarakan tentang eksistensi ketuhanan.”
Lalu pementorku
memberi nasihat "Semua yang terjadi saat ini adalah takdir yang telah
Allah tetapkan dan pasti itu yang terbaik, termasuk yang terjadi pada Kakakmu.
Hal tersebut pasti ada hikmahnya untuk dijadikan sebagai bahan pembelajaran
kedepannya. Kedepannya, kamu harus selalu waspada dan berhati-hati terhadap
berbagai pikiran yang menyimpang dari ajaran Islam."
*******
Sesampainya aku
dirumah, "Assalamualaikum". Ku ucapkan salam tiga kali, tetapi tidak
ada yang menjawab seorang pun. Kemudian aku bertanya ke tetangga sebelah, Bu
Suminah. "Assalamualaikum. Permisi,
maaf ganggu sebentar. Apakah Ibu tahu keberadaan Ibu dan Ayahku?"
Sambil mengusap
punggungku Bu Suminah menjawab, "Waalaikumsalam. Sabar ya Dan!"
Kemudian ku
bertanya lagi, "Memangnya Ibu dan Ayah kemana Bu?"
Bu Suminah
menjawab kembali, "Jadi begini, Barusan Kakakmu datang. Ibu lihat dia
berjalan sempoyongan seperti orang mabuk. Ketika Kakakmu masuk ke rumah, Ibu
mendengar pertengkaran antara Kakakmu dan orang tuamu. Lalu Ibumu memanggil
suami Ibu untuk meminta bantuan untuk dibawa ke rumah sakit. Sepertinya
serangan jantung Bapakmu kambuh lagi sedangkan Kakakmu pergi lagi entah kemana
. Ibu juga rencananya sekarang mau menyusul ke rumah sakit, Dan."
Aku langsung
panik dan ingin segera menengok Ayahku di rumah sakit, "Innalillah, Kak
Hafizh sudah keterlaluan. Ya sudah aku ikut Ibu saja ke rumah sakit ya!"
Bu Suminah
menyetujui, "Iya ayo. Yang sabar ya nak, semua pasti ada jalan
keluarnya." Kemudian aku dan Ibu Suminah pergi ke rumah sakit dimana
Ayahku dirawat.
Ketika tiba di
rumah sakit, aku dan Ibu Suminah langsung menuju ke bagian administrasi rumah
sakit untuk menanyakan di kamar mana Ayahku dirawat.
"Bapak Mustafa ada di kamar nomor 13 A,
lantai 3." Ujar sang suster.
Kemudian kami
menaiki lift. Dengan berjalan cepat, aku dan Ibu Suminah tak sabar untuk segera
menemui Ayahku. Akhirnya kami menemukan kamar bernomor 13 A dilantai 3.
Kemudian ku
ketuk pintu kamar, "Tok..tok...tok... assalamualaikum!" Tiba-tiba ada
seseorang yang membukakan pintu dari dalam, dan itu adalah Ibuku.
Sambil menangis
ku peluk Ibu, "Ibu, bagaimana kabar Ayah? Apakah Ayah masih bisa melihat
Ziddan?".
Ibuku menjawab
dengan suara berbisik, "Alhamdulillah Dan, Ayah masih bisa melihat Ziddan.
Tetapi nanti, Ayah baru saja tidur."
Lalu aku
bertanya, "Ibu, apakah biaya pengobatan Ayah sudah siap?"
Ibu menjawab,
"Nah, itu Dan. Kita hanya punya uang separuh dari biaya pengobatan
Ayah."
Dengan wajah
penuh simpati, Ibu Suminah berkata, "Untuk biaya, tenang saja Bu, saya dan
suami saya akan membantu pengobatan suami Ibu!"
Dengan sumringah,
Ibuku berkata, "Alhamdulillah, terima kasih banyak Ya Allah, terima kasih
Bu Suminah! Semoga Allah memberikan keridhoan kepada Ibu ya!." Kemudian
Ibu Suminah mengamininya. Sambil menunggu Ayah bangun, aku menyenpatkan diri
untuk melaksanakan solat sunat duha terlebih dahulu sambil mendoakan yang
terbaik untuk keadaan keluargaku saat ini.
Beberapa hari kemudian
Alhamdulillah
hari ini Ayahku sudah dapat pulang ke rumah. Dengan menggunakan dana bantuan dari
Ibu Suminah, Kami dapat melunasi semua pembiayaan rumah sakit Ayah. Lalu kami
pulang ke rumah diantar oleh suaminya Ibu Suminah menggunakan mobil yang bisa
dibilang cukup mewah. Di perjalanan kami bersenda gurau layaknya seperti hidup
tanpa beban. Ya, memang kami sedang berusaha untuk melupakan kejadian kemarin
dan menyerahkan semua permasalahan kepada Allah swt. supaya diberikan yang
terbaik.
Akhirnya tiba
juga kami di rumah. Ibu Suminah dan suaminya pun berpamitan pulang, tak lupa
kami ucapkan terima kasih kepadanya. Sebelum beristirahat, aku berusaha untuk
membersihkan lantai yang penuh dengan debu karena sudah tiga hari tidak
ditinggali, begitu juga dengan kursi, televisi dan kasur. Ketika aku
membereskan tempat tidur Kakakku, lagi-lagi aku teringat akan sosok Kakakku.
Tetapi, ya sudahlah apa boleh buat, aku dan orang tuaku tidak bisa berbuat
apa-apa lagi, kami serahkan masalah itu kepada Allah Yang Maha Mengatur
segalanya. Akhirnya pekerjaanku selesai seiring dengan adzan maghrib tiba.
Kemudian aku membersihkan diri karena badan ini sudah lengket, penuh dengan
keringat. Kebetulan hari ini adalah hari Sabtu, sehingga aku bisa beristirahat
lebih awal, tanpa harus terbebani tugas-tugas sekolah.
Keesokan
harinya, seperti biasa aku bangun tidur pukul setengah empat pagi. Tanpa
basa-basi, aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Dilanjutkan dengan solat tahajud sambil menunggu adzan subuh tiba. Aku tidak
mau sama sekali meninggalkan solat subuh berjamaah di masjid dekat rumah karena
aku tahu bahwa pahala solat subuh berjamaah bagaikan pahala solat semalam
penuh. Begitu juga dengan solat sunat sebelum solat subuh. Pahalanya lebih baik
dari dunia dan segala isinya.
Saat aku sarapan
pagi bersama dengan Ibu dan Ayahku, tiba-tiba aku mendapat telepon dari seorang
teman sekolahku bernama Akhyar yang memberitakan bahwa hari ini ada kajian
Majelis Jejak Nabi di Masjid pusat kota. Kajian ini rutin dilaksanakan sebulan
sekali, dan aku tidak pernah absen menghadirinya. Kajian ini diisi oleh seorang
pemateri yang sudah tidak asing lagi di telinga anak-anak rohis sepertiku,
yaitu Salam Afillah. Beliau terkenal lewat dakwahnya melalui media sosial
twitter dan buku-bukunya yang sangat bagus untuk dibaca. Kemudian langsung saja
aku bersiap-siap untuk menghadiri kajian itu.
Tak lupa aku
meminta izin kepada Ibu dan Ayahku, “Ibu, Ayah, bolehkah Zidan menghadiri
kajian Majelis Jejak Nabi?”
Kemudian Ibuku
menjawab “Tentu anakku, apa sih yang tidak boleh untuk kebaikan? Memangnya
dimana kajiannya Dan?”
Dengan semangat
aku menjawab “Itu loh Bu di masjid pusat kota.”
“Oh, disana.
Seandainya Ayah sehat, Ibu dan Ayah pasti akan ikut bersamamu Nak sambil
berjalan-jalan, sudah lama kita tidak berjalan-jalan bersama. Kesana kamu naik
apa, Dan?” Ujar Ibuku.
Aku menjawab
“Iya, ini yang terbaik kok Mah, sudah takdir. Hari ini aku berangkat bersama
temanku, Akhyar. Dia dan sopirnya akan menjemputku ke sini, sehingga aku tidak
perlu naik angkutan umum.”
Ibu berkata
“Alhamdulillah, bagus lah kalau begitu. Nih uang buat jajan kamu disana, siapa
tahu perlu.”
Sambil menerima
uang, aku berkata “Alhamdulillah, terima kasih Bu.” Kemudian aku pamit kepada
Ayah dan Ibuku “Ibu, Ayah, Zidan pamit dulu ya, Assalamualaikum!”
Mereka menjawab
“Waalaikumsalam.” Lalu Ayah berkata “Tetap berhati-hati ya nak, semoga berkah!”
Sambil berjalan
meninggalkan rumah, aku berkata “Amin Yah! Doakan aku selalu.” Kemudian aku pun
bergegas pergi ke jalan raya, dan terlihat mobil temanku sudah menunggu. Lalu
aku pun pergi bersamanya menuju ke masjid pusat kota.
Sepanjang
perjalanan aku dan Akhyar tidak henti-hentinya bercerita tentang masa dulu kita
berdua. Akhyar merupakan salah satu sahabatku sewaktu masih sekolah dasar, jadi
wajar saja apabila aku dan Akhyar saling bercengkrama karena sudah lama tidak
berjumpa. Saat ku bercerita tentang keadaan Kakakku saat ini, ku lihat wajah
akhyar begitu pucat, sampai-sampai ia meneteskan air mata. Mau tidak menangis
bagaimana, dulu sewaktu aku dan Akhyar masih kecil, Kak Hafizh selalu
menyempatkan diri untuk mengajarkan kami membaca Al-Qur’an dan mempelajari
ilmu-ilmu agama yang lain.
Saat kami
melewati pasar, kembali aku menemukan seorang pemuda yang tengah memeras uang
kepada para pedagang. Pikiranku kembali tertuju kepada Kak Hafizh karena
wajahnya sangat mirip dengan Kakakku.
Tidak bermaksud
mengagetkan, Akhyar tiba-tiba berteriak, “Allahu akbar, itu kan Kak Hafizh
Dan?”
Diriku yang
terkaget menjawab, “Iya, aku juga dari semenjak waktu itu sudah menduga bahwa
pemuda itu adalah Kak Hafizh karena wajah dan tampangnya sangat mirip, tapi aku
berusaha berpikir positif, menganggap bahwa pemuda itu bukanlah Kak Hafizh.”
Setelah mendengarkan penjelasan Akhyar, kali ini aku sangat yakin bahwa sosok
pemuda itu adalah Kak Hafizh. Tanpa pikir panjang, aku dan Akhyar turun dari
mobil dan segera menemui sosok pemuda yang diduga Kak Hafizh.
Kemudian ku
panggil pemuda itu, “Kak Apis...Kak Apis...”
Kak Hafizh pun
menengok ke arahku, “Ada apa kamu kesini hah?”
Kemudian aku
menjawab, “Aku sangat rindu Kakak, dirumah sepi, tak ada lagi yang mengajak
ngaji bareng lagi. Ayah dan Ibu juga menunggu Kakak.”
Kakakku lantas
menjawab, “Halah, kamu ini. Buat apa ngaji hah? Ga ada gunanya, cuma ngabisin
waktu doang!”
Dengan wajah
cemas, aku berkata, “Astaghfirullah Kakak, istighfar Kak! Allah Maha Melihat.”
Kemudian Akhyar
berkata, “Kak Hafizh, masih ingatkah denganku? Dahulu kita suka ngaji bareng
loh!”
Kak Hafizh
menjawab, “Haduh, siapa lagi ini hah? Iya kita suka ngaji bareng, tapi sekarang
udah gak zaman ngajian-ngajian tau!”
Aku bertanya,
“Selama ini kenapa Kakak tidak pulang-pulang ke rumah?”
Kak Hafizh
berkata, “Kamu ini sok perhatian sekali sih. Udah ah gue cabut!” Dengan
menggunakan sepeda motor entah milik siapa, dia menarik gas sekencang mungkin
meninggalkan kami. Sambil menahan rasa sedih, kami pun bergegas kembali menuju
mobil.
*******
Setelah kajian
berakhir, aku dan Akhyar langsung menuju mobil untuk bergegas pulang. Tak lupa
Akhyar juga mengantarkanku pulang ke rumah. Namun Akhar hanya mengantarkanku
sampai jalan raya saja, tidak sempat mengunjungi rumahku karena dia harus
melakukan suatu urusan yang menurutnya sangat penting.
Sesampainya aku
dirumah, ku ucapkan salam, “Assalamualaikum.” Ku dengar Ayahku menjawab salam.
Sambil membuka
pintu, ayahku menyapa, “Nah, akhirnya kamu datang juga. Bagaimana kajiannya?”
Kemudian ku
jawab, “Hehe. Iya Yah, kajiannya sangat menarik sekali. Disana dibahas tentang
jaringan-jaringan atau organisasi-organisasi yang menyimpang dari ajaran Islam.
Seperti, JIL atau kepanjangan dari Jaringan Islam Liberal. Saat ini, sudah
banyak pemuda-pemuda yang pikirannya terpengaruh oleh jaringan ini. Yang
awalnya soleh-solehah, kemudian berubah menjadi penentang ajaran Islam.
Kesimpulannya kita harus waspada dan menolak jaringan ini.”
Dengan wajah
murung, Ayahku berkata, “Sepertinya, Kakakmu juga sudah terpengaruh
pikiran-pikiran sesat ya Dan!”
Kemudian aku
berkata “Iya yah, sepertinya begitu.” Aku sengaja untuk tidak memberitahukan
berita tentang pertemuanku dengan Kak Hafizh. Aku takut jikalau serangan
jantung Ayahku kambuh lagi, dan beban pikirannya semakin berat.
Tiba-tiba Ayahku
menepuk pundakku, “Hey! Kok kamu melamun sih, jangan-jangan kamu sudah
terpengaruh oleh JIL ya!”
Aku terkaget,
“Naudzubillah Ayah, Nauzubillah.”
“Hehe Ayah Cuma
becanda kok. Ya sudah kalau begitu. Tuh Ibumu sedang membuat bubur kacang
kesukaanmu di dapur!” Ujar Ayahku sambil menunjuk dapur
Dengan
sumringah, aku berkata, “Wah, alhamdulillah.” Kemudian aku pun langsung menuju
dapur untuk sekedar mencicipi makanan kesukaanku, yaitu bubur kacang.
*******
Beberapa bulan kemudian
Hari berganti
hari, belum juga ada perubahan pada diri Kakakku. Ku lihat dia setiap hari
selalu berjalan-jalan di sepanjang pasar pusat kota, tak jarang dia pun
bermabuk-mabukkan, mengamen, dan meminta-minta secara paksa. Berita itu tak
dapat ditutup-tutupi. Hampir semua kerabat dan teman-temanku tahu bahwa Kakakku
sudah berubah. Bahkan Ayah dan Ibuku sudah mengetahuinya, untung saja serangan
jantung Ayahku tidak kambuh lagi, mungkin karena sudah terbiasa. Pernah suatu
ketika, aku mendengar kabar bahwa Kak Hafizh terkena razia gepeng dan preman.
Namun, entah kenapa, dia tidak juga jera atas hukuman tersebut. Kakakku memang
sudah sangat keterlaluan. Setiap kali aku menanyakan berita tentang Kak Hafizh
kepada Ibu dan Ayah, selalu saja mereka menjawab, “Ya sudahlah, mau bagaimana
lagi, kita serahkan semuanya kepada Allah Swt. Yang Maha Memiliki segalanya.”
Ibu dan Ayah sepertinya sudah pasrah akan kenyataan tersebut. Kami menunggu
keajaiban.
Sepulang melaksanakan
solat isya berjamaah di masjid dekat rumah, tiba-tiba terdengar suara telepon
berbunyi, “Krining, krining.” Ku menebak bahwa telepon ini berasal dari nenekku
di desa. Semenjak nenek tahu tentang berita keadaan Kakakku saat ini, beliau
sering sekali menelepon ke rumahku, dan biasanya menelepon sehabis solat isya.
Namun kali ini berbeda, yang menelepon rumahku adalah seorang bapak-bapak
dengan suara yang bisa dibilang sangat panik. Dia adalah pamanku, Ismail.
“Hallo, halo
assalamualaikum ini dengan siapa ya?” Tanya Pamanku.
“Waalaikumsalam.
Ini dengan Ziddan. Maaf, Bapak siapa ya?” Tanyaku
“Ini dengan
Pamanmu, Ismail.” Ujar Pamanku
“Memangnya ada
apa Paman? Kok Paman terdengarnya panik sekali?” Tanyaku
“Ini Dan, ini,
Kakakmu!” Ujarnya
“Kakak kenapa
Paman?” Tanyaku
“Kakakmu
kecelakaan. Dia tertabrak oleh truk tronton. Menurut warga sekitar Kakakmu
diduga mabuk, karena terlihat jalan sempoyongan.” Ujar Pamanku.
“Innalillahi wa
inna ilaihi roji’un.” Aku pun terkaget dan hampir pingsan.
“Oh ya. Kamu
tahan dulu berita ini. Jangan sampai Ibu dan Ayahmu tahu. Kamu sudah tahukan,
Ayahmu mengidap penyakit jantung.”
“Iya, Paman. Aku
tidak akan memberitahukannya kepada Ibu dan Ayah.”
“Sekarang Paman
dan Kakakmu sedang berada di mobil ambulan, menuju rumah sakit Asy-Syifa. Kalau
mau menengok, besok pagi saja. Paman akan kirimkan pesan tentang lantai dan
nomor kamar dimana Kakakmu berada.”
“Iya, Paman.
Jaga Kak Hafizh ya! Insya Allah besok, sepulang sekolah aku akan menjenguk
Kakakku.”
“Insya Allah
Dan! Sambil doakan juga Kakakmu di rumah ya. Saat ini doa adalah senjata
terakhir kita supaya Kak Hafizh diberikan yang terbaik oleh Allah.Ya sudah
Paman tutup dulu teleponnya ya! Paman tunggu kedatanganmu di rumah sakit.” Ujar
Pamanku.
“Insya Allah
Paman. Waalaikumsalam.” Lalu ku tutup telepon dan langsung bergegas ke kamar.
Malam ini aku
tidak bisa tidur dengan nyenyak. Keringat dingin menyelimuti dinginnya malam di
hari ini. Pikiranku masih terbayang akan sosok Kakakku yang sedang terkujur tak
berdaya di rumah sakit. Ku terus panjatkan do’a, supaya Kakakku diberikan yang
terbaik dan diberikan waktu untuk bertaubat. Aku takut jikalau Kakakku
meninggal dalam keadaan Su’ul khatimah.
Suara desah
gelisahku ternyata membangunkan Ibuku dari tidur nyenyaknya. Kemudian Ibuku
membuka pintu kamarku. Lalu menanyakan apa yang sedang terjadi. Tanpa bermaksud
membohongi Ibu, aku mengatakan bahwa aku sedang pusing dengan tugas sekolah
yang menumpuk. Sekali lagi, aku takut bahwa Ibuku belum siap menerima berita
kecelakaan Kak Hafizh, apalagi tengah malam seperti ini. Lalu Ibuku
menasihatiku bahwa untuk menjadi seorang yang sukses, tidak bisa dilakukan
dengan berleha-leha, tetapi harus dengan usaha yang keras. Kemudian, Ibuku
memberikanku segelas air putih hangat supaya aku menjadi lebih tenang. Tak lama
dari itu, Ibuku akhirnya kembali ke kamarnya untuk melanjutkan istirahat.
Sang fajar pun
akhirnya mulai menyingsing, ayam jantan mulai berkokok saling bersahutan.
Pikiranku langsung teringat akan sosok Kakakku yang sedang terbaring di rumah
sakit. Walaupun aku sangat ingin sekali menjenguk Kak Hafizh, aku harus
terlebih dahulu menjalankan kewajibanku sebagai seorang pelajar, yaitu
bersekolah. Lagipula Pamanku juga telah
menyuruhku supaya bersekolah terlebih dahulu sebelum menjenguk Kakakku
di rumah sakit.
Tak seperti
biasanya, kali ini aku menggandeng ranselku yang penuh dengan baju dan
peralatan lainnya. Waktu telah menunjukkan pukul enam pagi, saatnya aku untuk
pergi berangkat ke sekolah. Sebelum berangkat, tak lupa aku berpamitan dengan
Ayah dan Ibuku. Mereka nampaknya terlihat kebingungan saat melihat ranselku
yang penuh dengan barang bawaan. Kemudian Ibuku menanyakan mengapa aku membawa
barang-barang yang begitu banyak. Lalu aku menjawabnya dengan penuh rasa
bersalah bahwa aku akan mengikuti kegiatan kamping, padahal sebenarnya aku akan
menginap di rumah sakit untuk menjenguk Kak Hafizh. Sungguh aku takut sekali jikalau
Ibu sampai mengetahui kabar kecelakaan Kakakku. Namun aku berjanji pada diriku sendiri,
apabila keadaan Kak Hafizh sudah membaik, aku akan memberitakan hal ini kepada
Ibu dan Ayahku.
*******
Akhirnya bel
tanda pulang sekolah berdenting juga. Tanpa menunggu lama, aku pun langsung
bergegas pergi menuju rumah sakit Asy Syifa dimana Kakakku dirawat saat ini.
Ketika tiba di
halaman rumah sakit, ku lihat betapa megahnya rumah sakit ini. Diriku
bertanya-tanya di dalam hati tentang masalah pembiayaan pengobatan Kak Hafizh.
Untuk pengobatan Ayahku saja, saat ini keluargaku masih berhutang kepada Ibu
Suminah. Berdasarkan pesan singkat dari Paman Ismail, Kakakku dirawat di kamar
nomor 15B lantai 3. Kemudian aku langsung saja bergegas memasuki lift menuju
lantai 3. Saat berada di lorong lantai 3, ku lihat Paman sedang duduk di depan
kamar 15B sambil membaca Al Qur’an. Sepertinya ia sengaja berada di luar kamar
supaya kita dapat mengobrol terlebih dahulu perihal kecelakaan Kakakku dan
keadaan Kakakku saat ini, sehingga aku tidak kaget saat berjumpa dengan Kak
Hafizh.
Benar saja dugaanku.
Lalu ku hampiri Paman dan mengucapkan salam. Menurut Paman, Kak Hafizh baru
saja beristirahat yang sebelumnya ia melakukan santap malam. Sambil menunggu
Kakakku terbangun, Paman menceritakan kronologis kecelakaan yang dialami oleh
Kak Hafizh.
“Dan, Paman
dengar berita kecelakaan Kakakmu dari seorang teman Paman yang melihat langsung
kejadian tersebut. Saat itu selepas solat Isya di masjid dekat pasar, Paman
berjalan pulang menuju rumah. Namun tiba-tiba, ada beberapa orang yang
berkerumun di pinggir jalan. Saat menghampiri kerumunan tersebut, Paman sesaat
melihat sosok wajah yang tidak asing di pikiran Paman. Setelah
mengingat-ngingat, ternyata itu adalah Kakakmu Dan! Hafizh. Kemudian Paman
segera memanggil ambulan untuk dibawa ke rumah sakit. Lalu Paman tanyakan
kronologis ceritanya kepada teman Paman yang kebetulan melihat langsung
kejadian kecelakaan tersebut. Tak lama kemudian, akhirnya mobil ambulan pun
datang menjemput Kakakmu, dan Paman ikut juga dalam mobil ambulan tersebut.”
Ujar Pamanku.
“Menurut teman
Paman, saat itu Kak Hafizh berjalan sempoyongan menuju ke suatu tempat, mungkin
karena dia mabuk. Kemudian saat dia menyebrang, tiba-tiba ada sebuah truk
dengan kecepatan cukup tinggi menabrak Kak Hafizh.” Ujar Pamanku menambahkan.
“Innalillahi wa
inna ilaihi roji’un.” Ujarku terkaget
Pamanku
menambahkan lagi, “Oh ya, Dan. Menurut pemeriksaan dokter yang terbaru, Kak
Hafizh mengalami cedera di kepalanya dan dia agak sulit mengingat sesuatu yang
sudah terjadi atau biasa kita sebut sebagai penyakit amnesia. Buktinya saat
Paman mengobrol dengannya, dia tidak tahu siapa Paman. Jadi, jangan kaget kalau
Kakakmu tidak bisa mengingatmu Menurut paman, keadaan Kakakmu saat ini, bisa
kita manfaatkan untuk kembali mengisi pikiran Kakakmu yang awalnya menyimpang
dari ajaran Islam menjadi sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan
rasulnya.”
“Ya Allah,
semoga ini adalah yang terbaik untuk Kakakku. Nah benar paman, itu ide yang
cemerlang! Mudah-mudah kita bisa mengisi kembali pikirannya dengan sesuatu yang
positif dan tentunya sesuai dengan ajaran Islam.” Ujarku optimis. Kemudian aku
bertanya, “Paman, bagaimana dengan urusan pembiayaan Kak Hafizh? Saat ini
keadaan keuangan keluargaku tidak cukup untuk membiayai pengobatan Kak Hafizh,
bahkan untuk biaya pengobatan Ayahku saja, saat ini masih berhutang!”
“Kamu tidak usah
menghiraukan masalah biaya pengobatan Kakakmu, Dan. Semuanya sudah Paman urus
kok!”
Ya, Paman memang
berbeda dengan saudara-saudaraku yang lain. Dia bisa dibilang orang paling kaya
di keluarga besarku. Menurut Ibuku, dahulu sejak dia masih kecil, Paman tak
pernah sama sekali melawan orang tuanya, dan dia sangat rajin sekali untuk
bersekolah. Jadi, wajar saja apabila saat ini kondisi keuangan Paman sangat
subur.
Telah berlalu
dua jam aku dan Paman berbincang-bincang. Namun Kakakku belum juga terbangun.
Mungkin dia memerlukan istirahat yang lebih untuk memulihkan kondisinya.
Kemudian aku pun tertidur di sebuah sofa dalam kamar, sedangkan Paman membaca
Al Qur’an sambil berjaga-jaga jikalau Kakakku membutuhkan pertolongan.
Keesokan
harinya, tepatnya pukul delapan pagi selepas aku melaksanakan solat duha,
Kakakku akhirnya terbangun juga. Aku langsung membangunkan Paman yang masih
terlelap tidur karena semalaman dia tidak tidur. Sebelum aku berinteraksi
dengan Kak Hafizh, terlebih dahulu aku berikan minum air hangat, dilanjutkan
dengan makan bubur dan buah-buahan karena aku yakin bahwa Kak Hafizh pasti
sedang lapar. Selepas makan dan minum, aku mencoba berinteraksi dengannya
perlahan-lahan, tetapi dia terlihat kebingungan. Menurutnya, dia merasa tidak
asing dengan wajahku. Kemudian ku perkenalkan diriku dan menjelaskan bahwa aku adalah adiknya. Lalu
aku mengajak Kakakku untuk pergi ke taman supaya dapat menghirup udara bebas.
Sambil menghampiri tman bunga, aku jelaskan sedikit-sedikit tentang ilmu tauhid
bahwa yang menciptakan semua ini adalah Allah. Ketika adzan zuhur tiba, ku ajak
Kakakku untuk melakukan solat berjamaah. Sebelumnya, kuajarkan kembali ia
tentang gerakan-gerakan dan bacaan-bacaan solat. Begitu seterusnya. Tiap detik,
tiap menit, tiap jam kuajarkan Kakakku tentang hal-hal yang positif dan
tentunya sesuai dengan ajaran Islam supaya pikirannya terisi kembali oleh
hal-hal yang bersifat Islami.
Pada suatu hari,
aku mendapatkan telepon dari Ibuku tentang keberadaanku saat ini. Setiap ibu
menanyakan kapan pulang, ku jawab bahwa beberapa hari lagi aku akan pulang. Ibu
dan Ayahku semakin khawatir dan cemas terhadap keadaanku karena aku telah
berada diluar rumah selama lima hari, padahal aku mengatakan bahwa aku akan
berada di luar rumah selama tiga hari. Mereka takut jikalau aku mengikuti jejak
Kakakku yang keadaannya berubah, awalnya soleh, tetapi berubah menjadi kacau
dan kepribadiannya diluar syariat agama Islam. Namun kuberitahukan kepada mereka
bahwa aku ini dalam keadaan baik-baik saja, tidak sesat dan tidak pula kacau.
Setelah
bernegosiasi dengan dokter tentang waktu diperbolehkannya Kak Hafizh pulang,
langsung ku beritahukan Paman bahwa besok pagi aku dan Kakakku sudah dapat
pulang ke rumah. Ku beritahukan bahwa saat ini keadaan Kak Hafizh sudah semakin
membaik. Dia sudah bisa solat, membaca Al Quran, berzikir, dsb. Aku meminta
tolong kepada Paman untuk mengantarkan aku dan Kakakku dari rumah sakit menuju
rumah sambil menguruskan surat-surat biaya pengobatan Kak Hafizh karena Paman
sudah berjanji bahwa ia akan membiayai semua pengobatan Kak Hafizh. Aku sudah
tak sabar untuk bertemu dengan Ibu dan Ayahku, aku rindu terhadap mereka. Ya,
memang Paman selama empat hari terakhir tidak menemani Kak hafizh di rumah
sakit, dia harus bekerja di luar kota.
Keesokan harinya,
pagi-pagi sekali, aku dan Kakakku membereskan barang-barang dan peralatan
lainnya selepas melaksanakan solat subuh karena hari ini Paman akan menjemput
aku dan Kakakku dari rumah sakit menuju ke rumah. Sambil menunggu kedatangan
Pamanku, aku beritahukan segala seuatu tentang Ibu dan Ayahku kepada Kak
Hafizh. Bahwa mereka adalah orang yang telah membesarkan Kak Hafizh hingga
seperti ini, perjuangan mereka menafkahi keluarganya tidak boleh disia-siakan.
Kemudian ku lihat wajah Kak Hafizh memucat, air matanya mengalir. Menurutnya
dia rindu terhadap sosok Ibu dan Ayah.
Paman Ismail pun
akhirnya datang. Segera saja ia membereskan semua surat-surat dan biaya
pengobatan Kak Hafizh. Setelah selesai, Paman mengantarkan aku dan Kak Hafizh
menuju rumah dengan menggunakan mobil mewah pribadinya. Sebelum sampai di
rumah, aku menyempatkan untuk menelepon Ayah dan Ibuku terlebih dahulu bahwa
hari ini aku akan pulang membawa oleh-oleh yang tak ternilai harganya.
Saat kami sampai
di depan rumah, langsung saja kami ucapkan salam. Kemudian seseorang menjawab
dari dalam rumah dan membukakan pintu untuk kami. Ketika Ibu melihat sosok Kak
Hafizh, dirinya begitu terkaget, hampir-hampir ia pingsan. Ibuku berniat untuk
mengusir Kak Hafizh dari rumah. Namun setelah kujelaskan apa yang terjadi,
Ibuku merasa sumringah dan hatinya berbunga-bunga. Lalu Ibuku memanggil Ayah
yang sedang tidur siang dikamar, dan memberitahukan perubahan positif yang
telah dialami oleh Kak Hafizh. Kulihat wajah mereka begitu sumringah, tak
henti-hentinya kami meneteskan air mata bahagia. Kemudian ku jelaskan mengapa
semua hal ini bisa terjadi dan tak lupa aku meminta maaf atas semua kebohongan
yang telah aku lakukan selama ini.
Akhirnya, masalah
besar yang ada di benak keluargaku sekarang sudah hilang walaupun untuk
menghilangkannya dibutuhkan sesuatu yang pahit. Namun ku syukuri semua ini atas
terkabulnya do’aku, do’a Ibuku, do’a Ayahku dan do’a-do’a lainnya yang meminta
agar Allah memberikan hal terbaik untuk Kakakku. Saat ini kehidupan keluargaku
menjadi lebih harmonis, semua berjalan dengan teratur. Kakakku sudah dapat
menyaring untuk membedakan hal mana yang sesuai dengan ajaran Islam dan hal
mana yang tidak sesuai ajaran Islam. Jadi, aku tidak perlu khawatir jikalau
Kakakku akan kembali kepada keadaan semula yang begitu menyuramkan, kecuali
jika Allah berkehendak. Kak Hafizh yang ingatannya sudah mulai pulih,
dimanfaatkannya untuk beraktivitas seperti biasa dan ia pun mulai mencari pekerjaan
untuk membantu kondisi keuangan keluarganya.
Biografi Penulis
Muhammad Rijal
Senjaya, lahir di Bandung, 31 Juli 1998. Tahun 2010 lulus dari sekolah dasar SD
Negeri Cimuncang 2, dan tahun 2013 lulus dari sekolah menengah SMP Negeri 7
Bandung. Saat menulis cerpen ini, saya sedang menimba ilmu di sekolah menegah
SMA Negeri 3 Bandung. Saya merupakan anak dari pasangan Bapak Ir. Doddy Koswara
P. S. dan Ibu Rina Marliani, SH. dan merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara. Adik-adik saya bernama Muhammad Ridwan Maulana Senjaya dan Muhammad
Ridho Arifin Senjaya. Hobby saya yaitu bermain sepakbola dan berkumpul bersama
orang-orang terdekat.
Peringatan!!!
Dilarang meng-copy post ini secara illegal, kecuali jika kamu mendapat izin dari penulis atau dengan mencantumkan URL pada blog atau tugasmu.
Hargailah penulis OK!!!
No comments:
Post a Comment